Kamis, 23 Januari 2014

Keutamaan Ali bin Abi Thalib

Imam Ali bin Abi Thalib adalah khalifah rasyid yang keempat. Keutamaan dan keistimewaannya adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi kecuali oleh orang-orang Khawarij (Ibnu Muljam dan komplotannya) yang lancang memerangi bahkan menumpahkan darahnya.
Berbeda dengan tiga khalifah sebelumnya, dimana sebagian orang terjebak dalam kesalahan dengan merendahkan kedudukan mereka, Ali bin Abi Thalib sebaliknya, orang-orang terjebak dalam kekeliruan, penyimpangan dan kesesatan bahkan kekufuran karena berlebih-lebihan dalam mengagungkannya. Sebagaimana Abdullah bin Saba dan orang-orang yang mengikutinya.
Suwaid bin Ghafalah datang menemui Ali radlhiallaahu ’anhu di masa kepemimpinannya. Lalu Suwaid berkata, “Aku melewati sekelompok orang menyebut-nyebut Abu Bakr dan Umar (dengan kejelekan). Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Di antara mereka adalah Abdullah bin Saba dan dialah orang pertama yang mengampanyekan hal tersebut’. Ali menjawab, “Aku berlindung kepada Allah menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan”. Kemudian beliau mengirim utusan kepada Abdullah bin Saba dan mengusirnya ke al-Madain. Ia juga berkata, “Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya”. Kemudian ia berdiri menuju mimbar dan orang-orang pun berkumpul… …Ali berkata, “Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorang pun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta.”
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Sesungguhnya mengikuti hawa nafsu menghalangi dapat seseorang dari kebenaran dan panjangan angan-angan dapat membuatnya lupa akhirat.”

Utsman bin Affan Khalifah yang Terzalimi

Beliau adalah Abu Abdillah Utsman bin Affan bin al-Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keempat yaitu Abdu Manaf, di masa jahiliah beliau dipanggil Abu Amr namun tatkala dari istri beliau yaitu Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlahir seorang laki-laki yang diberi nama Abdullah lalu beliau berganti menjadi Abu Abdillah, dan beliau masyhur dengan julukan dzu nurain (pemilik dua cahaya).

Di masa jahiliyah Utsman bin Affan adalah seorang yang terpandang dan dimuliakan oleh kaumnya. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat pemalu, hartawan, dan pemilik petuah yang didengar. Karena itulah ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh kaumnya. Ia tidak pernah sujud kepada sebuah patung pun, tidak pula berbuat keji, tidak pernah meminum khamar baik sebelum maupun setelah Islam. Utsman bercerita, “Aku tidak pernah bernyanyi, tidak pula panjang angan-angan, aku pun tidak pernah menyentuh dzakarku dengan tangan kananku setelah aku gunakan tangan itu untuk membai’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak pernah minum khamar di masa jahiliah maupun setelah Islam.”

Keutamaan Utsman bin Affan

Beliau termasuk as-sabiqun al-awwalun (orang-orang yang pertama menyambut dakwah Islam). Beliau mengikrarkan diri sebagai seorang muslim berkat dakwah Abu Bakr Ash-Shidddiq pada umur 34 tahun. Di saat kaumnya menolak dan mengingkari seruan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia justru membentangkan tangan, membuka hati, dan meyakini tanpa keraguan. Tatkala seruan hijrah dikumandangkan beliau adalah termasuk seorang yang tampil melaksanakan perintah sehingga beliau dua kali berhijrah, ke negeri Habasyah dan Madinah.
Keunggulan sahabat Utsman semakin tampak pada beberapa keadaan penting di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itulah figur Utsman dikenal sebagai salah satu sahabat yang tidak disebut melainkan kebaikan. Di saat musim paceklik panjang, kemiskinan dan kefakiran menjadi bagian bagi setiap kaum muslimin. Di saat itu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan seruan jihad dan beliau tengah menyiapkan pasukan besar untuk diberangkatkan dalam Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Pasukan itu disebut jaisyul ‘usroh karena sulitnya kondisi materi para sahabat pada saat itu. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mendorong para sahabatnya untuk berinfak dan bersedekah dalam rangka menyiapkan pasukan besar tersebut. Hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

Rekening dan Hotel Atas Nama Khalifah Utsman bin Affan

Apakah Anda tahu kalau sahabat nabi khalifah Utsman bin Affan adalah seorang  pebisnis yang kaya raya, namun mempunyai sifat murah hati dan dermawan. Dan ternyata beliau radhiallahu ‘anhu sampai saat ini memiliki di salah satu bank di Saudi, bahkan dan tagihan listriknya juga masih atas nama beliau.
Bagaimana ceritanya sehingga beliau memiliki hotel atas namanya di dekat Masjid Nabawi..??
Diriwayatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kota Madinah pernah mengalami panceklik hingga kesulitan air bersih. Karena mereka (kaum muhajirin) sudah terbiasa minum dari air zamzam di Mekah. Satu-satunya sumber air yang tersisa adalah sebuah sumur milik seorang Yahudi, SUMUR RAUMAH namanya. Rasanya pun mirip dengan sumur zam-zam. Kaum muslimin dan penduduk Madinah terpaksa harus rela antri dan membeli air bersih dari Yahudi tersebut.
Prihatin atas kondisi umatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda : “Wahai Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat surgaNya Allah Ta’ala” (HR. Muslim).
Adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu yang kemudian segera bergerak untuk membebaskan sumur Raumah itu. Utsman segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan menawar untuk membeli sumur Raumah dengan harga yang tinggi. Walau sudah diberi penawaran yang tertinggi sekalipun Yahudi pemilik sumur tetap menolak menjualnya, “Seandainya sumur ini saya jual kepadamu wahai Utsman, maka aku tidak memiliki penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari” demikian Yahudi tersebut menjelaskan alasan penolakannya.
Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu yang ingin sekali mendapatkan balasan pahala berupa Surga Allah Ta’ala, tidak kehilangan cara mengatasi penolakan Yahudi ini.
“Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu” Utsman, melancarkan jurus negosiasinya.
“Maksudmu?” tanya Yahudi keheranan.
“Begini, jika engkau setuju maka kita akan memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini milikku, esoknya kembali menjadi milikmu kemudian lusa menjadi milikku lagi demikian selanjutnya berganti satu-satu hari. Bagaimana?” jelas Utsman.
Yahudi itupun berfikir cepat,”… saya mendapatkan uang besar dari Utsman tanpa harus kehilangan sumur milikku”. Akhirnya si Yahudi setuju menerima tawaran Utsman tadi dan disepakati pula hari ini sumur Raumah adalah milik Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu.
Utsman pun segera mengumumkan kepada penduduk Madinah yang mau mengambil air di sumur Raumah, silahkan mengambil air untuk kebutuhan mereka GRATIS karena hari ini sumur Raumah adalah miliknya. Seraya ia mengingatkan agar penduduk Madinah mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk 2 hari, karena esok hari sumur itu bukan lagi milik Utsman.
Keesokan hari Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli, karena penduduk Madinah masih memiliki persedian air di rumah. Yahudi itupun mendatangi Utsman dan berkata “Wahai Utsman belilah setengah lagi sumurku ini dengan harga sama seperti engkau membeli setengahnya kemarin”. Utsman setuju, lalu dibelinya seharga 20.000 dirham, maka sumur Raumahpun menjadi milik Utsman secara penuh.
Kemudian Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu mewakafkan sumur Raumah, sejak itu sumur Raumah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk Yahudi pemilik lamanya.
Setelah sumur itu diwakafkan untuk kaum muslimin… dan setelah beberapa waktu kemudian, tumbuhlah di sekitar sumur itu beberapa pohon kurma dan terus bertambah. Lalu Daulah Utsmaniyah memeliharanya hingga semakin berkembang, lalu disusul juga dipelihara oleh Pemerintah Saudi, hingga berjumlah 1550 pohon.

Rabu, 18 Desember 2013

Kisah Ashabul Kahfi - Bukti Ketinggian Ilmu Imam Ali Bin Abi Thalib

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa RajaDiqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya…..

Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:


إِذْ أَوَى الفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَا ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (AL-KAHFI:10)


Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”

“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.

“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”

Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”



Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”

Kamis, 21 November 2013

Kisah Masuk Islam Umar bin Khattab RA

Umar bin Khattab ra terkenal sebagai orang yang berwatak keras dan bertubuh tegap. Sering kali pada awalnya (sebelum masuk Islam) kaum muslimin mendapatkan perlakukan kasar darinya. Sebenarnya di dalam hati Umar sering berkecamuk perasaan-perasaan yang berlawanan, antara pengagungannya terhadap ajaran nenek moyang, kesenangan terhadap hiburan dan mabuk-mabukan dengan kekagumannya terhadap ketabahan kaum muslimin serta bisikan hatinya bahwa boleh jadi apa yang dibawa oleh Islam itu lebih mulia dan lebih baik.
Sampailah kemudian suatu hari, beliau berjalan dengan pedang terhunus untuk segera menghabisi Rasulullah SAW. Namun di tengah jalan, beliau dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi seraya bertanya:
“Hendak kemana engkau ya Umar ?”,
“Aku hendak membunuh Muhammad”, jawabnya.
“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh jika engkau membunuh Muhammad ?”,
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asal-mu?”. Tanya Umar.
“Maukah engkau ku tunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu wahai Umar, sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu”, kata Abdullah.
Setelah mendengar hal tersebut, Umar langsung menuju ke rumah adiknya. Saat itu di dalam rumah tersebut terdapat Khabbab bin Art yang sedang mengajarkan al-Quran kepada keduanya (Fatimah, saudara perempuan Umar dan suaminya). Namun ketika Khabbab merasakan kedatangan Umar, dia segera bersembunyi di balik rumah. Sementara Fatimah, segera menutupi lembaran al-Quran.
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :
“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar dengan geram
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.
Mendengar jawaban tersebut, Umar langsung menendangnya dengan keras hingga jatuh dan berdarah. Fatimah segera memba-ngunkan suaminya yang berlumuran darah, namun Fatimah pun ditampar dengan keras hingga wajahnya berdarah, maka berkata-lah Fatimah kepada Umar dengan penuh amarah:
“Wahai Umar, jika kebenaran bukan terdapat pada agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah”
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan ber-darah, timbul penyesalan dan rasa malu di hati Umar.

Kamis, 10 Oktober 2013

kisah Husein bin Ali bin Abi thalib

Tulisan berikut ini diterjemahkan dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman al-Khomis, seorang ulama yang terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah-. [kisahmuslim.com]

Pembahasan tentang terbunuhnya cucu Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar menulis sebuah kisah shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah. Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husein di buku beliau Huqbah min at-Tarikh-.
Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.
Setelah surat itu sampai di Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.
Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.

Selasa, 05 Februari 2013

Tata cara shalat dalam perjalanan

Dalam bepergian, ada beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang diberikan oleh agama kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah satu keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar (dipendekkan) dan dengan cara jamak (menggabung dua sholat dalam satau waktu). Dengan demikian pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau disebut "sholatus safar", dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
1. Itmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.
2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan  menjadi dua roka'at.
3. Jama', yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya', dalam salah satu waktunya.
SEMPURNA ATAU QASHAR?
Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih utama dalam melaksanakan sholat saat bepergian, apakah dengan sempurnya seperti biasa ataukah dengan qashar.
[1]. Pendapat pertama mengatakan qashar shalat saat bepergian hukumnya wajib. Pendapat ini diikuti mazhab Hanafiyah, Shaukani, Ibnu Hazm dan dari ulama kontemporer Albani. Bahkan Hamad bin Abi Sulaiman mengatakan barangsiapa melakukan sholat 4 rakaat saat bepergian, maka ia harus mengulanginya. Imam Malik juga diriwayatkan mengatakan mereka yang tidak melakukan qashar harus mengulangi sholatnya selama masih dalam waktu sholat tersebut.

Pendapat ini menyandar kepada dalil hadist riwayat Aisyah r.a. berkata:"Pada saat pertama kali diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian itu ditetapkan pada shalat bepergian, dan untuk sholat biasa disempurnakan" (Bukhari Muslim). Dalil ini juga diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar r.a. beliau berkata:"Aku menemani Rasulullah s.a.w. dalam bepergian, beliau tidak pernah sholat lebih dari dua rakaat sampai beliau dipanggil Allah" (Bukhari Muslim).
Dalil lain dari pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas r.a. juga pernah berkata:"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan Nabi kalian s.a.w. bahwa untuk orang bepergian dua rakaat, untuk orang yang menetap empat rakaat dan dalam keadaan ketakutan satu rakaat."(H.R. Muslim).
[2].Pendapat kedua mengatakan bahwa melakukan sholat dengan cara qashar saat bepergian hukumnya sunnah. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali dan mayoritas ulama berbagai mazhab.